Selasa, September 14

Temaram Malam Terakhir

"Bu, bensin motorku udah full ni?" seorang anak lelaki belasan tahun yang berwajah penuh harap menghampiri Ibunya. "Udah full tu bensinnya?" ia bertanya kembali pada Ibunya. "Sudah Dek, mau kemana sih?!" sahut Ibunya yang mulai merasa terganggu. Lelaki itu tampak begitu rapi, lengkap dengan kemeja dan celana pendek yang berhari-hari tidak dicucinya. Ibunya yang saat itu sedang menonton TV pun heran akan penampilan anaknya, "Dek, mau kemana?" "Mau nyusul pacar ke luar kota, bu." jawab anaknya dengan senyum malu. "Eh Dek, celanamu lho gak pas sama bajumu! wong mau ketemu pacar kok tetep urakan, sana pake yang Ibu beliin di pak Haji!" ejek Ibunya lirih. "Moh aku Bu! Ra mecing sama gaya anak metal!" bantah anaknya sendiri. Ibunya menggeleng, "Iyo wis ta, terserah awakmu. Yang penting kamu udah mandi, kan?" tanya ibunya penuh curiga. "Ah, percuma, nanti juga di jalan keujanan lagi. Gak masalah Bu, udah biasa, pacarku aja gak risih kok." anak lelaki itu tertawa dan bergegas masuk ke kamar ibunya. "press,.. press... press,.." terdengar seperti suara parfum di meja rias Ibunya. "Bah pantes enggal telah parfum Ibu, bes keto ne Kadek nganggo! Kayehang san ibane malu!!" dengan nada tinggi Ibunya menegur. Seperti angin, teguran Ibunya terasa lewat begitu saja di kupingnya.

Jumat, September 10

OST Gina vs Dicka

               SEBERAPAKAH  jarakku denganmu, Cinta? Apakah jarak itu akan sangat dekat bila kuiris-iris daun janur kuning panjang, daun-daun pisang lalu menitipkan seluruh curahan rasa lewat kata-kata yang kuhafal wujudnya walau kadangkala aku luput dalam esensinya? 



               Dalam rangkaian kalimat itu aku merasakan dua hal, di sudut ingatan yang satu, aku membuat paragraf pengharapan bahwa tidak mudah lunglai adalah topik paling utama. Sebab pikiran dan gerak yang ada dalam keadaan sehat akan melahirkan banyak inspirasi dan usaha-usaha untuk bertahan. 

              Membentangkan sayap-sayap kesadaran lalu memerangi kecemasan demi kecemasan yang mencuri diri dari kesadaran. Bahwa tak pernah ada paripurna bernama kekekalan. 

Hadiah untuk Hati

TERGELETAK, bagai sampah di pasar. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu, aku kembali memungutnya. Padahal ini tak lebih dari sisa jeroan atau kepala ikan yang membusuk termakan belatung. "Ini bukan sekedar daging atau fisik yang mudah rusak." dengan kepala deras keringat dan berurat aku mencoba berpikir demikian. Aku mencoba mengulang kejadian masa lalu di otakku, mencari arti lebih dalam dari apa yang aku buang dan apa yang kini aku pungut kembali. "Cukup rusak jika kulihat dari luar, tapi entahlah.. mungkin bisa berguna nanti, atau mungkin akan ku pinjamkan gelas yang berpisau penggilas itu untuk kulebur layaknya bubur?" Aku bagai beradu dengan kepala sendiri, meragukan masa depan dengan cara mengingat masa lalu.

Pelangi Hitam

GURUH sahut menyahut di langit yang begitu gembiranya menumpahkan airnya ke bumi yang sudah terengah-engah karena hampir tenggelam. Sungai, selokan, jalan sudah penuh oleh air. Siang itu, mentari pun tertelan bersama gumpalan awan hitam yang menggulung. Bagai berteduh di bawah mendung, aku membasahi diri dengan deras air hujan. "Rintikmu terlalu tajam menghujam badan keringku. Aku tak lagi merasakan sejuk darimu!" ucapku mengeluh kepada hujan.